"Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali"
Asas legalitas
yang panjangnya adalah nullum crimen (delictum), nulla poena sine praevia
lege poenali, bersumber dari Bavarian Code di Jerman Tahun 1813. Asas ini
ditulis dan dimasukkan ke dalam Bavarian Code oleh Paul Johann Anselm
Ritter von Feuerbach. Asas ini menggaris bawahi bahwa tiada seorang pun yang
dapat dipidana tanpa ada hukum yang terlebih dahulu mengatur demikian. Asas
yang merupakan ciri dari Eropa Kontinental ini merupakan lawan dari asas retroactive,
yang artinya bahwa pemidanaan berlaku surut terhadap kejahatan yang belum
diatur secara hukum pada saat dilakukan.
Pada Jaman
Romawi Kuno dikenal adanya istilah criminal extra ordinaria, yang
berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika
hukum Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah criminal
extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-raja
yang berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatan yang
dikatakan jahat, namun belum diatur di dalam undang-undang. Lahirnya Magna
Charta Libertatum di Inggris (1215) merupakan salah bentuk reaksi terhadap
praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase pertama ketika
manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia. Upaya
penghormatan terhadap HAM sebenarnya telah ada sebelum lahirnya Magna Charta.
Kitab suci agama Hindu, Veda, telah membicarakan perlunya penghormatan atas HAM
sejak 3000 tahun yang lalu. Piagam Madinah yang ditanda tangani Nabi Muhammad
SAW pada abad ke 6 Masehi, sebenarnya juga merupakan deklarasi kesepakatan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
Asas legalitas
yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad
Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan
sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat
menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera
kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau
tidak. Untuk melindungi hak individu, hadirlah asas legalitas yang merupakan
instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan
negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum
menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
Perlindungan
terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya dilakukan melalui perjuangan
dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan kepentingan rakyat vis a vis
kekuasaan raja yang absolut. Asal gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan
Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat
dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya
seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan
yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang
mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Pasca
lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan kewajiban
rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas hukum ini dirumuskan
dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum (rechtszekerheid).
Pelopor
perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah John Locke (1760).
Perjuangan rakyat Inggris tersebut
kemudian berkembang hingga ke Perancis, sebagai bentuk perlawanan atas
kesewenang-wenangan raja Louis XIV, dengan simbol Penjara Bastille sebagai
simbol kekuasaan raja yang despotis. Perjuangan rakyat Perancis dipengaruhi
oleh dua orang filsuf paling terkemuka Abad Pencerahan, Charles Montesquieu
(1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Montesquieu lewat bukunya
L’esprit des Lois (1748) dan bukunya Rousseau Dus Contrat Social, ou
principes du droit politique (1762) memperkenalkan pemikiran asas
legalitas, sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Let’s ces moi, yang
didengungkan Raja Louis. Selain dipengaruhi oleh kedua filsuf tersebut
perkembangan asas legalitas di Perancis juga dipengaruhi oleh Marquis de
Lafayette, seorang sahabat George Washington, yang membawa pemikiran asas
legalitas dari Amerika ke Perancis.
Di Amerika, ketentuan asas legalitas
sudah dicantumkan dalam Declaration of Independence 1776, di sana
disebutkan tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan
karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.
Pemikiran asas legalitas kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang dalam
Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789). Asas ini
kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis pada masa
pemerintahan Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “Tidak
ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam
undang-undang dan diundangkan secara sah”.
Beccaria, dalam Dei delitti e drllee pene (Over misdaden en straffen
1764) juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari perbuatan
sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu dibuat suatu hukum sebelum delik itu
terjadi. Hukum itu harus mengatur dengan jelas dan tegas, sehingga bisa memberi
petunjuk dalam menjalankan peradilan pidana.
Perjalanan selanjutnya, Von
Feuerbach seorang sarjana Jerman, berpendapat bahwa merupakan suatu asas yang
penting bagi pemberian ancaman hukuman di dalam hukum pidana, yaitu bahwa
setiap penjatuhan hukuman oleh hakim haruslah merupakan suatu akibat hukum dari
suatu ketentuan menurut undang-undang, yakni dengan maksud menjamin hak-hak
yang ada pada setiap orang. Dengan demikian, maka undang-undang itu harus
memberikan suatu ancaman hukuman berupa suatu penderitaan kepada setiap orang
yang melakukan suatu pelanggaran hukum. Von Feuebach mengemukakan tiga
ketentuan yakni :
- Nulla Poena Sine Lege, yang artinya bahwa setiap penjatuhan hukuman haruslah didasarkan pada suatu undang-undang pidana;
- Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan hukuman hanyalah dapat dilakukan, apabila perbuatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang;
- Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa perbuatan yang telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu apabila dilanggar dapat berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang diancamkan oleh undang-undang terhadap pelanggarannya;
Von Feuerbach kemudian merumuskan
adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.”Bahwa
tidak ada delik, tidak
ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung dalam bukunya Lehrbuch
des peinlichen Rechts (1801). Asas legalitas yang dikemukakan oleh
Feuerbach mengandung tiga pengertian : 1) Tidak ada perbuatan dapat dipidana,
apabila belum diatur dalam undang-undang. 2) Dalam menentukan adanya perbuatan
pidana tidak boleh digunakan analogi. 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak
berlaku surut (non retroactive).
Ketentuan asas legalitas diakui
pertama kali oleh konstitusi Amerika Serikat tahun 1783, dicantumkan dalam Article
I Section 9 yang berbunyi: “No bill of attainder or ex post pacto law
shall be passed”. Lalu diikuti oleh Perancis di dalam Declaration des
droits de L’homme et du citoyen 1789. Selanjutnya ketentuan ini diikuti
oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental kepastian hukum
dijunjung tinggi. Tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri
adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi
terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah
penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law.
Di satu sisi asas ini memang dirasa
sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasa.
Namun, efek dari pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang
bisa mengikuti perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar
dari pemberlakuan asas legalitas. E Utrecht
mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve
belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang
sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan
perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala
in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya
peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena
tercela).
Di Indonesia asas legalitas
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi “Geen feit is strafbaar
dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling” yang
artinya tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan
ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada
perbuatannya itu sendiri. Ketentuan pidana yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat
1 KUHP tersebut mengandung tiga buah asas yang sangat penting, yaitu : 1) bahwa
hukum pidana yang berlaku di Negara kita itu merupakan suatu hukum yang
tertulis; 2) bahwa undang-undang pidana yang berlaku di Negara kita itu tidak
dapat diberlakukan surut; dan 3) bahwa penafsiran secara analogis itu tidak
boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana.
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP
juga menyatakan bahwa undang-undang pidana yang berlaku di Negara kita tidak
dapat diberlakukan surut. Apabila undang-undang pidana kita tidak dapat
diberlakukan surut, maka hal tersebut sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar.
Oleh Karena undang-undang pidana yang berlaku di Negara kita, baik sebagai
undang-undang pidana dalam arti material, tetap merupakan suatu undang-undang.
Dan sebagai undang-undang sudah sewajarnya apabila ia terikat pada
ketentuan-ketentuan yang mengatur perundang-undangan di Indonesia.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur
masalah perundang-undangan, dapat diatur dalam Algemene Bepalingen van
Wetgeving voor Indonesia yang telah diundangkan dalam Staatsblad
Tahun 1847 Nomor 23 pada tanggal 23 April 1847, yang dalam kepustakaan Belanda
biasanya disingkat A.B. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia diartikan
ketentuan-ketentuan umum tentang perundang-undangan Indonesia.
Pasal 2 dari Algemene Bepalingen
van Wetgeving menentukan bahwa : De wet verbindt alleen voor het
toekomende en heft gene terugwerkende kracht artinya undang-undang itu
hanyalah berkenaan dengan hal-hal yang akan datang dan tidak mempunyai kekuatan
berlaku secara surut. Dari ketentuan tersebut dijelaskan bahwa suatu
undang-undang pidana hanya dapat diberlakukan terhadap seseorang yang telah
melakukan suatu perbuatan yang terlarang oleh undang-undang pidana tersebut
setelah undang-undang pidana yang bersangkutan dinyatakan diberlakukan.
- Mansor Faqih, Menegaskan kembali Komitmen HAM, dalam Jurnal Wacana Edisi 8 Tahun II 2001, hal. 4.
- Bambang Purnomo, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 68-69.
- Molejatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 24.
- Bambang Purnomo, op.cit, hal. 69.
- Molejatno, op.cit, hal 75.
- Moeljatno, op.cit, hal. 25.
- A Ahsin Thohari, Dimensi Historis Asas Retroaktif, 19 Februari 2005, dikutip dari Muladi, 2002.
- U. Utrecht, 1987, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal 10
- Ibid.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Komentar